Tuesday, October 2, 2018

Short Story - A Part of Me Inside You

Second short story! I'm honestly very bad at delivering what my mind wants to say into words. I want to show you guys how powerful a friendship could be but I'm not quite sure that you'll get the same message as you read this story. It's okay though. Just read it and don't hesitate to give some advice. Here goes the drama..





Dunia memiliki banyak makna. Isi dunia pun demikian. Bila dijabarkan, butuh sejuta orang untuk mengisi lembaran kosong kertas putih menjadi penuh dengan semua makna  dunia. Itu sebabnya 'pengamatan khusus' dilakukan. Dari pengamatan ini, salah satu hal paling bermakna yang seseorang rasakan mengarah pada sebuah kata yang tidak akan pernah asing dalam kehidupan seorang insan, persahabatan. Dalam bahasa Inggris, persahabatan diartikan dalam kata relationship. Itu berarti jika kita bersahabat dengan seseorang sama saja halnya kita tengah membangun sebuah hubungan dengan orang tersebut. Mungkin sulit jika kata ini turut diterjemahkan dengan bahasa cinta, karena nyatanya persahabatan mungkin jauh lebih kuat daripada itu. Butuh satu hari untuk bisa merasakan cinta sejati dengan seseorang, namun butuh bertahun-tahun untuk bisa memiliki persahabatan sejati dengan orang lain. Sebuah tokoh yang sangat kita benci pada halaman pertama sebuah buku, bisa menjadi tokoh paling mengagumkan bagi kita di halaman terakhir buku tersebut.


Jakarta, 10.00 PM


Ting ting ting.. 
Terdengar bel berbunyi, tanda masih ada satu pelanggan terakhir untuk dilayani sebelum kafe benar-benar tutup. Gadis dengan celemek lusuh itu mengerutkan dahi memandangi wanita sebayanya yang memilih tempat duduk di sampng jendela kafe. 'Iiih ini kan sudah mau jam tutup, masih ada aja yang baru datang. Tidak tahu apa aku sudah mulai beres-beres?' gerutunya dalam hati. Kalau diusir, nanti dia kena marah lagi oleh bosnya. Apa boleh buat, Trycia pun memasang muka ramahnya kembali dan menghampiri wanita tersebut. 

"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?", tanyanya sambil menyodorkan menu.

"Aku pesan secangkir hot vanilla latte dengan ekstra mint. Dan... bolehkah minta koneksi ke wifi Anda?" tanya wanita itu ragu-ragu.

"Oh tentu saja. Passwordnya caramellatteshop. Jika Anda ingin memesan yang lain, silahkan panggil saya atas nama Trycia ya. Terima kasih." Trycia pun kembali untuk membuatkan pesanan wanita tersebut. Malam itu ia harus bekerja sendiri, karena anak rekan kerjanya sakit dan ia harus pulang lebih cepat. Saat sedang menyiapkan minuman, matanya melirik ke arah wanita tadi. Dari belakang terlihat biasa saja namun, tunggu, apakah ia sedang, menangis? Tapi mengapa? Hatinya diliputi rasa penasaran. Ada niatnya untuk bertanya ketika hendak mengantarkan minumannya nanti, namun sebagian dirinya melarangnya untuk mencampuri urusan orang lain. Pelan-pelan ia memberanikan diri untuk mengantarkan hot vanilla latte pesanan wanita tersebut.

"Ehmm, maaf mengganggu, ini pesanan Anda. Adakah yang bisa saya bantu lagi?" ujar Trycia dengan sejuta pertanyaan dalam benaknya karena jelas-jelas dia melihat pipi wanita itu basah oleh air matanya sendiri. Wanita itu memandangnya cukup lama sampai sebuah pertanyaan keluar dari mulutnya dan mengejutkan Trycia,

"Bolehkah aku memelukmu? Aku benar-benar butuh seseorang saat ini.." ujarnya pelan karena tangisnya yang kembali pecah. Trycia memandangi wanita itu dalam diam. Ia tidak menyangka akan ada permintaan semacam ini selama masanya bekerja di kafe milik bekas majikan ibunya dulu. Wanita itu menyadari keterkejutan Trycia dan cepat-cepat membereskan barangnya karena rasa malu. Ia sendiri tidak menyangka akan mengeluarkan permintaan bodoh semacam itu. 5 detik selanjutnya terjadi keheningan diantara mereka, namun yang terjadi setelah itu tidak terduga. Trycia menarik wanita itu dalam pelukannya, begitu erat, sampai ia sendiri tidak yakin pernah memeluk orang lain sekuat itu. Wanita itu kembali menangis di pundaknya, membuat mereka berdua terlihat seperti dua orang sahabat yang telah melalui suka duka hidup bersama selama bertahun-tahun. 

"Maaf aku terlalu spontan, aku tidak punya siapa-siapa saat ini."

"Tidak apa-apa. Tuangkan seluruh masalahmu sekarang. Anggap aku adalah teman baikmu.." ujar Trycia yang mulai meneteskan air mata, seakan turut merasakan kesedihan dari wanita itu.

"Aku Diandra," ucapnya setelah beberapa saat. "Aku baru saja diberhentikan dari kantorku beberapa hari lalu, dan sekarang aku baru saja mendapat kabar kalau ibuku sedang dibawa ke rumah sakit karena terjatuh saat hendak berjualan ke pasar. Aku dalam kondisi tidak memiliki uang dan terancam untuk diusir dari kos-kosanku. Bahkan untuk pulang ke kampung untuk melihat ibuku saja sangat sulit karena tidak ada juga yang bisa kuperbuat disana. Satu-satunya alasanku datang ke kafe ini karena tempat ini sudah sangat sepi dan yang aku butuhkan hanya tempat untuk menangis," jelasnya kepada Trycia. Ia menunggu respon tapi terlihat jelas bahwa lawan bicaranya sedang berpikir, menunjukkan raut wajah khawatir dan bingung.

"Dengar, aku hanya memerlukan teman untuk bercerita. Aku benar-benar tidak mengharapkanmu untuk membantuku dengan cara apapun. Dan ak.."

"Tidak, tidak. Tentu saja aku akan membantumu. Aku mungkin tidak dapat memberikanmu uang, namun aku dapat menyediakanmu tempat tinggal. Kos-kosanku tidak jauh dari sini, kebetulan aku ditempatkan di kamar yang memiliki kasur cadangan dan luasnya juga tidak terlalu sempit. Untuk biaya ibumu bisa kita pikirkan nanti, namun saat ini kau harus beristirahat. Jika ingin bercerita lebih baik menenangkan diri dahulu baru aku akan siap untuk mendengarkanmu kapan saja. Aku..juga tidak punya seorangpun disini. Keluargaku bahkan hanya tahu bahwa aku bekerja di kota, tanpa mengetahui dimana aku berada. Lagipula, kalau aku tetap di kampung aku hanya menjadi beban lebih untuk mereka," jawab Trycia kepada Diandra. 
Ia selalu berharap untuk menjadi orang berguna suatu saat dalam kehidupannya. Mungkin dalam mimpinya ia menjadi orang berguna jika ia sudah kaya raya, namun untuk sekarang inilah kesempatan baginya untuk menolong orang lain dengan keterbatasannya.

Diandra sendiri kehabisan akal. Bagaimana Tuhan bisa mempertemukan dirinya dengan Trycia yang kurang lebih senasib dengan dirinya, namun masih rela membantu dan berbagi tempat tinggal? Bukannya itu hanya akan merepotkan dirinya sendiri? Ada pertimbangan untuk menolak dan segera pergi dari kafe itu, namun ini adalah sesuatu yang benar-benar ia butuhkan sekarang. Dengan ragu-ragu Diandra menganggukkan kepalanya menerima tawaran Trycia.

'Suatu saat aku akan membalas kebaikannya.' tekadnya dalam hati.

Mereka tiba di kos-kosan sederhana milik Trycia di saat waktu tepat mengarah ke angka 12. Sama sekali tidak muncul kecurigaan dalam diri Trycia terhadap orang asing yang baru saja ia persilahkan untuk menginap di kos-kosannya. Namun ia yakin apa yang dilakukannya sudah benar, gadis itu butuh bantuan dan manusia macam apa yang rela untuk membiarkan orang lain dalam masalah seperti ini? Dan tanpa seorang pun dari mereka berdua ketahui, hari itulah menjadi permulaan akan sebuah ikatan sahabat yang sejati.


3 tahun kemudian, 11.00 PM


"DIDIIIN, SISIR GUE KEMANAA?" teriak Trycia dari dalam kamar mandi.

"GATAU BEB KECEMPLUNG KE WC KALII" jawab Diandra yang sedang sibuk berdandan. Ini adalah hari penting bagi mereka berdua. Setelah pertemuan pertama mereka waktu itu, Diandra diterima untuk bekerja di kafe yang sama dengan Trycia. Dari sejak saat itulah persahabatan mereka mulai terbangun. Mereka mulai mengenal kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berbagai masalah mereka lewati bersama, dari mulai kekurangan uang sampai membeli sebuah barang bersama. Tak terasa setahun lamanya mereka bekerja, kafe yang dulunya sepi sekarang menjadi ramai menjadi salah satu tempat paling dikunjungi di kota tersebut. Tepat sebulan lalu terhitung hari ini, sang pemilik kafe memanggil Trycia, menawarkan sebuah pekerjaan di sebuah hotel bintang lima. Ia pun menyetujuinya, dengan permintaan bahwa Diandra juga ikut bekerja bersamanya. Ia tidak akan membiarkan sahabatnya itu tertinggal di kota ini sendirian. Pemilik kafe pun setuju. Hari ini adalah saatnya bagi mereka untuk datang ke hotel tersebut.

Diandra telah selesai mempercantik wajahnya. Ia hendak berdiri ketika mendengar suara keras seperti barang terjatuh dari arah kamar mandi. Merasa ada sesuatu yang tidak beres ia pun bergegas membuka pintu kamar mandi yang tidak terkunci. Betapa terkejutnya ia melihat Trycia yang sedang memegangi pinggangnya mengaduh kesakitan di lantai kamar mandi.

"Sya! Lo kenapa?!" tanyanya panik sambil memegangi tubuh sahabatnya.

"Gatau Din, pinggang gue sakit banget. Pas gua mau ngambil obat ternyata lantainya licin jadinya gue jatoh,"

Diandra sedikit lega karena ternyata Trycia tidak terjatuh karena rasa sakitnya. Tapi ia merasa perlu untuk memeriksakan sakit temannya ke dokter karena Trycia belum pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya. Mereka pun bergerak cepat karena mereka harus bertemu dengan calon atasan mereka jika mereka diterima kelak pukul 03.00 sore. Sesampainya di rumah sakit, Trycia berkonsultasi sendiri sedangkan Diandra menunggu di luar. Pintu ruangan pun kembali terbuka dan terlihat sahabat terkasih Diandra keluar dengan raut wajah sedih.

"Din, dokter bilang gue, ga.,ga.,gagal ginjal. Gimana dong, gue takut Din," tangisnya di pelukan Diandra. "Dia bilang belum akut, tapi udah mulai parah dan gue harus dirawat sekarang juga. Kayaknya lo doang yang bisa diterima di hotel itu, gapapa Din pergi aja, gue ikhlas kok."

"Apa? Engga. Kalo lo ga diterima, gue juga engga. Masa iya gue dapet kerjaan bagus sementara lo disini, ngelewatin penyakit sialan ini sendirian? Yang bikin gue hidup sampe sekarang ya lo Sya, dan gue bakal ada disini buat lo," tolak Diandra mentah-mentah.

3 bulan pun berlalu, namun kondisi Trycia tidak kunjung membaik. Kesempatan bekerja di hotel yang ditawarkan atasan mereka pun hilang, karena tidak ada satupun dari keduanya yang menyanggupi persyaratan untuk hadir dalam tes dan wawancara. Diandra sedang membantu Trycia untuk meminum obat, ketika Trycia kembali mengaduh kesakitan. Dokter pun datang. Terlihat raut wajah khawatir di mukanya. Diandra pun membuka suara dan memberanikan diri untuk bertanya,

"Ada apa, Dok? Apakah teman saya baik-baik saja?"

"Begini, ehm, sepertinya ginjal saudari Trycia sudah tidak dapat berfungsi lagi. Maksud saya adalah, dia membutuhkan transplantasi ginjal secepatnya."

Seketika ruangan menjadi hening, terlihat air mata di wajah Trycia dan itupun yang menimbulkan
kesedihan mendalam dalam hati Diandra. Ia tahu biaya transplantasi itu mahal, hingga ratusan juta, namun bukan itu yang ia pikirkan sekarang. Di lain sisi Trycia sangat bingung bagaimana cara untuk mendapat ginjal baru bagi dirinya. Bagaimana cara untuk membayar ini semua? Apa lebih baik ia mati saja? Tanpa ia sadari, wanita disampingnya itu dapat menjawab semua pertanyaanya. Wanita itu, yang telah tinggal bersama dengan dirinya selama bertahun-tahun, yang telah ia bantu sejak malam pertama mereka bertemu, selama ini menyimpan tekad dalam hatinya untuk membalas kebaikan Trycia. Tepat ketika dokter hendak membuka mulut, Diandra terlebih dulu angkat bicara,

"Ambil ginjalku."

"Apa?! Tidak akan. Din udah, biari.."

"Lo bodoh atau gimana sih? Semua orang di dunia ini juga tahu kalau manusia bisa hidup dengan satu ginjal." Ada sebuah tarikan nafas sebelum ia melanjutkan kalimatnya. "Tapi gue sendiri tahu kalo gue ga akan bisa hidup kalo gaada lo, Sya. Please, take mine."

"Thankyou Din. Gue sayang sama lo."

"Everyone has a friend during each stage  of life. But only lucky ones have the same friend in all stages of life."

No comments:

Post a Comment