Wednesday, September 12, 2018

Short Story - Perpisahan

Hii! So this is my 'actual' first short story. Apologize if you feel that 'cringe feelings' while you reading this because I'm an amateur writer:( 
If there are mistakes that you found on this text please don't hesitate to leave a feedback in the comment section. Enjoy!




Bus itu berhenti di hadapannya. Tepat waktu di saat awan mulai kehilangan kekuatan untuk menahan tangisnya hari itu. Sepatu hitam berlumpur itu membawanya duduk ke dalam bus. Dia, laki-laki muda yang mungkin sedang merasa senasib dengan awan-awan di langit. Jika bukan karena kondisi penumpang yang sedikit ramai malam itu, air mata mungkin sudah membanjiri wajah tampannya. 

Sebastian Dirga, namanya. Dia lebih suka dipanggil 'Tian', karena nama itu adalah nama panggilan yang diberikan oleh orang terdekatnya. Hati Tian selalu menghangat tiap mendengar nama itu diucapkan, setidaknya sampai malam ini. Malam dimana ia merasa lebih baik jika seseorang membunuhnya kemarin, daripada ia harus mengalami rasa sakit yang ia rasakan saat ini. Bagai jutaan pisau menghujam hatinya ketika ia tahu kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan yang terkunci rapat-rapat selama 6 tahun perjalanan asmara dua orang manusia. Kenyataan yang mungkin tidak akan terungkap tanpa sang pemegang kunci.

'Kenapa harus sekarang?!' teriak Tian dalam benaknya. Ia kembali teringat memori indah bersama gadis itu, satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang mampu mengisi dunianya, mengukir senyum di wajahnya, membuat hari-harinya penuh warna. Terlalu puitis? Bukan hanya wanita saja yang bisa, laki-laki pun punya perasaan demikian. Suara air hujan yang mengetuk-ngetuk kaca bus semakin keras, pertanda langit juga turut merasakan kesedihannya. Ia mulai terlelap di tengah kedinginan malam, sampai suatu suara keras membuka matanya.


24 jam sebelumnya...


Tiara menyisir rambut hitamnya di hadapan cermin. Ini saatnya. Sekarang atau tidak sama sekali, batinnya. Esok hari ia akan memberitahukan segalanya. Esok hari tidak akan ada lagi rahasia yang harus ia sembunyikan. Esok hari segalanya akan berakhir, termasuk cinta yang telah terukir dalam hatinya selama 6 tahun. Mengingat hal itu membuat rasa sakit kembali muncul di dadanya. Seketika mata indah cokelatnya tertuju pada sebuah foto yang tertempel di kaca riasnya. Foto dia dan seorang manusia lain yang membuatnya berpikir bahwa lebih baik ia menghembuskan nafas terakhirnya sekarang daripada harus mengumbar rahasia kelam dalam hidup keluarganya. Perlahan-lahan bola matanya kembali memanas dan menuntut agar dibasahi oleh aliran air kesedihan. Kakinya pun tidak kuat untuk menopang tubuhnya sehingga ia terjatuh di kamar tidurnya sendiri.

1 jam, 2 jam, Tiara masih tidak bergeming dari tempat duduknya. Ia sadar betul bahwa ini akan menjadi hal tersulit selama hidupnya dan sepanjang hidupnya. Apakah merelakan seseorang yang menjadi cinta sejatimu untuk pergi dan mencari kebahagiaan dengan orang lain itu mudah? Hanya orang gila yang bisa berkata seperti itu. Namun apa daya, ia tidak bisa lari dari kenyataan lagi kali ini. Sebelum semuanya terlambat, ia harus menyudahi kisah cintanya dengan laki-laki yang sangat ia cintai. Gadis itu mengumpulkan kekuatan yang tersisa dalam dirinya untuk bangkit dan bersiap-siap. Tak henti-henti ia mengulang kembali kata-kata yang akan ia ucapkan besok. Bukan sehari atau dua hari mempersiapkan hal ini, butuh 5 bulan baginya untuk benar-benar siap untuk melepas orang itu pergi. Mereka bilang menunda-nunda adalah sesuatu yang orang bodoh lakukan, tapi kali ini dia tidak peduli terhadap apa yang orang lain katakan. Ia ingin menghabiskan waktu-waktu terakhirnya dengan bahagia, karena ia tahu sampai kapanpun juga ia tidak akan menemukan orang lain yang mengubah hidupnya seperti ini. 

Waktu menunjukkan pukul 22.00. Tiara tersenyum pada cermin untuk terakhir kalinya. Ia lalu membaringkan kepalanya di tempat tidur sambil tersenyum memikirkan orang itu untuk kesekian kalinya, Sebastian Dirga.


12 jam sebelumnya...


Tian terbangun karena sinar matahari yang menyusup lewat jendela kamarnya. Sedetik kemudian senyum mengembang di wajahnya. Ini hari yang ia tunggu-tunggu. Tangannya meraih sesuatu dari night stand. Sesuatu yang kecil berwarna emas berkilauan. Dia sudah siap. Tibalah saat untuk membuat sang kekasih hati menjadi miliknya secara sah di hadapan Tuhan dan negara. Malam ini ia akan melamar gadis yang sudah ditakdirkan menjadi cinta sejatinya, Tiara. Pikirannya sudah kacau, antara gugup, gelisah, gembira, semua dirasakannya saat ini.

Seakan yakin bahwa lamarannya akan diterima, Tian telah mempersiapkan hampir segalanya, termasuk gaun pengantin yang akan dipakai Tiara nanti. Gaun yang telah di desain oleh perancang busana modern terbaik namun modelnya mengikuti desain gaun pengantin yang pernah dipakai oleh ibunya Tiara. Dia pasti akan sangat senang. Tian meraih jam tangannya. Ia harus berkerja sampai sore nanti sebelum dapat menjemput Tiara di apartemennya. Semua pakaian, sepatu, dan perlengkapan lainnya telah dia persiapkan semalaman. Jiwanya begitu bergairah sampai-sampai tidak ada sedikitpun hal yang tidak diharapkan terlintas dalam benaknya. Tiara akan dan harus menjadi miliknya seorang.


3 jam sebelumnya...


Waktunya telah tiba. Waktu bagi Tian untuk mencoba bersatu selamanya, sedangkan waktu bagi Tiara untuk menyatakan 'pisah' selamanya. Tak ada satupun dari mereka yang mengetahui rencana dari masing-masing orang. Pukul 19.00, mereka tiba di hotel berbintang lima di tengah kota. Lift membawa mereka ke lantai teratas tempat restoran romantis itu berada.

"Selamat malam, reservasi atas nama siapa?", sapa salah satu pegawai dengan ramah.

"Atas nama Sebastian dan Tiara Dirga, mas," balas Tian sambil tersenyum. Mendengar ini bola mata Tiara kembali memanas. Ia sadar betul bahwa sampai kapanpun ia tidak akan bisa menggunakan nama "Dirga" di belakang namanya. Itu tidak boleh terjadi. Tiara tetap membalas senyuman Tian, senyuman yang sebentar lagi tidak akan menjadi miliknya.

Sebelumnya, Tian sudah memesan makanan via telefon yaitu makanan kesukaan dia dan Tiara. Seusai menyantap hidangan, Tian membawa Tiara ke dance floor sebagai permulaan untuk melancarkan aksinya. Di samping restoran itu terdapat balkon kecil bagi pasangan yang ingin menikmati pemandangan malam kota itu. Perlahan-lahan ia menggenggam tangan mungil gadisnya itu dan berjalan menuju balkon kecil tersebut. Ketika pintu balkon tertutup, Tiara merasa sedikit lega karena itu berarti pembicaraan mereka tidak akan terdengar oleh siapapun. Namun hatinya berteriak-teriak menyuruhnya untuk meninggalkan tempat itu sekarang juga. Dalam keheningan, Tiara berhasil mengumpulkan suaranya.

"Tian, ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu," kata Tiara lemah. 

"Benarkah? Aku senang-senang saja mendengarnya, tapi ada sesuatu yang ingin kuucapkan terlebih dahulu. Begini, uhm.."

"Ya? Ada apa Tian?" tanya Tiara yang semakin penasaran.

Tanpa diduga Tian berlutut dengan satu kaki di hadapan Tiara. Hal yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar ekspektasinya.

"Ra, for 6 years we've been through a lot of things together and I think now it's the time to take our relationship to another whole different level. I love you so so much and I want you to be my life time partners, be the mother of my children, and be the person that stays beside me for the rest of my life. Will you marry me?"

Seketika itu juga tangis Tiara tidak dapat dibendung lagi. Ia menutup mulutnya sambil menangis.
Tian yang melihat itu terheran-heran sekaligus sedih. Ia tahu Tiara bukan menangis karena kebahagiaan. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. Hati Tian sudah hancur berkeping-keping tanpa mendengar alasan apa yang akan Tiara berikan. Tak selang beberapa waktu Tiara membuka suaranya.

"Tian, I'm really sorry. I love you more than anything, but there's one truth that you have to know and because of that reason I don't think we can be together like this forever. You see our similarities? We always thought that it was a good thing for our relationship but you know what? You and I, we're not meant to complete each other. We were meant to help each other weaknesses, because we were made on the same factory. You're my brother, Tian."

"Apa? Tidak, tidak mungkin. Mana ada hal sekonyol itu, Ra! Kita jelas-jelas berasal dari keluarga yang berbeda. Mengapa kau berkata seperti itu?" hardik Tian.

"Itu semua benar. Beberapa bulan yang lalu, kau tahu kan Ayah datang dari Amerika? Pada saat itu kamu tidak bisa menemuinya karena urusan kantor. Ia penasaran sekali dengan wajahmu sehingga aku hanya menunjukkan fotomu saja. Ketika itu Ayah tampak sangat kaget dan menyuruhku untuk segera mengakhiri segalanya denganmu. Awalnya ia tidak ingin memberitahu alasannya, tapi sebelum ia berangkat kembali ia memberiku sepucuk surat yang menjelaskan semuanya. Ibumu adalah gadis yang menjadi kekasih Ayah sebelum ia mengenal ibuku. Dan, se..setelah mereka be..berpisah ternyata..." tangis Tiara pecah untuk kedua kalinya malam itu.

"Besok aku sudah harus pergi. Setelah peristiwa ini Ayah memintaku untuk tinggal disana. Setelah pekerjaannya selesai ia pasti akan menemuimu dan aku benar-benar berharap kau akan baik-baik saja sampai waktu itu tiba. Selamat tinggal, Tian. Aku mencintaimu."

Seketika Tian diam seribu bahasa. Kenyataan yang ia dengar barusan seakan terlalu berat untuk dipahami olehnya. Otaknya berputar mengingat kenangan dengan ibunya. Seperti diterjang ombak, pikirannya terbuka tentang kehidupan keluarganya selama ini. Kenapa almarhum ibunya tidak pernah terlihat bahagia, kenapa orang tuanya sering bertengkar. Jadi ini kenyataannya. Tubuh Tian masih kaku tak bergerak layaknya sebuah patung. Melihat reaksi ini Tiara segera berlari keluar restoran karena ia tidak tahu akan seperti apa rasa sakitnya jika ia tetap berada disitu.

Tak lama sesudah Tiara pergi air mata Tian menetes satu per satu. Dengan kekuatannya ia menonjok tembok yang ada di dekatnya, menghasilkan suara tulang yang retak. Sakit. Itu yang Tian rasakan. Ia tidak peduli pada sakit di tangannya, ia jauh lebih terluka dengan sakit yang baru saya tertoreh dalam hatinya. Tian pun berteriak-teriak seperti orang kesetanan sampai security harus membawa dia keluar karena khawatir mengganggu kenyamanan pengunjung restoran yang lain.

Setelah beranjak dari hotel Tian mengambil sepeda motornya. Ia mengendarai motor tersebut dengan kecepatan maksimum berharap nyawanya akan diambil saat itu juga. Namun takdir berkata lain. Ia tiba di apartemennya dengan utuh. Tian berdiam diri selama berjam-jam menangisi apa yang baru saja terjadi. Ia masih tidak bisa menerima kalau Tiara tidak akan pernah menjadi miliknya lagi untuk selamanya. Baginya, penjelasan Tiara tadi belum cukup untuk memisahkan cinta mereka. Ia butuh lebih, oleh sebab itu ia mengemasi barangnya untuk pulang ke rumah ayahnya. Ketika sampai di halte Tian membeli jadwal operasi bus yang tercepat. Ia pun berdiri di samping jalan, entah menatap kemana. Jiwanya bagai terbelah menjadi dua. Rahangnya mengeras dan ia mengepalkan tangannya kuat-kuat berusaha memendam perasaan yang ingin meledak saat itu juga. 

Pukul 21.00. Bus itu berhenti di hadapannya. Tepat waktu di saat awan mulai kehilangan kekuatan untuk menahan tangisnya hari itu. Sepatu hitam berlumpur itu membawanya duduk ke dalam bus.
Tian duduk di barisan terdepan tepat di belakang supir. Rasanya ingin berteriak, rasanya ingin memaki, rasanya ingin menangis, rasanya ingin keluar dari bus dan menyusul Tiara serta memohon agar bersedia untuk terus mendampinginya. Kenapa Tuhan memberikan ujian seberat ini? Kenapa takdir begitu kejam pada dirinya? Mereka hanya ingin bersatu, tidak meminta lebih. Semua cobaan lain boleh didatangkan pada mereka berdua asalkan mereka tetap bersama. Dengan begitu ia tetap akan kuat apapun yang terjadi. Itu sesuatu yang Tian yakini. Emosinya perlahan-lahan mulai terbawa seiring perjalanan. Ia pun memejamkan mata sejenak, ingin beristirahat untuk mempersiapkan diri akan apa yang terjadi setelah ini. Hujan semakin deras. Ia mulai terlelap di tengah kedinginan malam, sampai suatu suara keras membuka matanya.

"Indeed, you're my true love. We couldn't be together in this world, but I heard someone say, that you're true love isn't always someone who spends 'forever' with you, but it could be someone who left you with a thousand feelings of bitter sweet memories." - unknown

THE END





No comments:

Post a Comment