From Thoughts to Words
Place where the unreal and the odds are legal. This is me unboxing my mind.
Tuesday, October 30, 2018
LDKS
Besok, tepatnya Kamis, 1 November 2018, kami siswa siswi angkatan 21 SMAN 68 akan mengikuti kegiatan wajib LDKS sebagai syarat kelulusan kami. Persiapan telah kami lakukan dari jauh hari, dari membuat lagu angkatan beserta gerakannya, membahas perlengkapan yang akan dibawa, pensi kelompok, sampai mempelajari ilmu menggunakan kompas yang tentu akan berguna bagi kami pada saat pelaksanaan. Selama ini kami telah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mempersiapkan fisik dan mental kami untuk menghadapi LDKS mendatang. Saya yakin bahwa kegiatan ini akan membawa dampak dan manfaat besar bagi kami. Selain dilatih disiplin, kegiatan ini akan membawa perubahan bagi kami untuk bermental kuat dan tidak bermanja-manja, dimana itu sekaligus menjadi persiapan juga bagi masa depan kami. Kami harap LDKS dapat melatih kami untuk menjadi manusia-manusia berguna yang siap terjun di masyarakat serta turut andil dalam pembangunan negara Indonesia ke arah yang lebih maju.
Tuesday, October 23, 2018
MASIH KENAL SUMPAH PEMUDA?
Halo semuanya! Kali ini berbeda dengan sebelumnya, dimana saya akan membuat sebuah karya tulis bertema kebangsaan. Hal yang difokuskan dalam tulisan ini adalah bagaimana generasi masa kini menyikapi Sumpah Pemuda, yang dikumandangkan pertama kali pada tanggal 28 oktober 1928. Saya sendiri, termasuk dalam golongan generasi Z yang lahir dalam rentang tahun 1995-2014. Dalam suatu acara yang saya tonton, pernah diperlihatkan suatu wawancara dadakan bagi pemuda pemudi dan hasilnya menunjukkan bahwa hanya 2 orang dari mereka yang masih bisa menyebutkan Sumpah Pemuda secara lengkap. Memang ironi, bahwa justru Sumpah Pemuda adalah satu-satunya sejarah Indonesia yang paling banyak diperankan oleh pemuda pemudi tanah air, dari segala penjuru bangsa. Saya pribadi memang mengapresiasi sejarah tersebut dengan kagum, tetapi bagaimana dengan seluruh teman-teman dengan generasi yang sama dengan saya, yaitu generasi Z? Menurut pendapat saya, Sumpah Pemuda harus semakin diperdalam dan diperkenalkan secara lebih luas lagi dalam pendidikan, sehingga sejarah yang telah diperjuangkan dengan begitu hebatnya, dapat direnungkan dan diteladani oleh para kaum-kaum generasi Z.
Terlepas dari pada itu, generasi-generasi yang baru seharusnya ditanamkan kesatuan setanah air, sebangsa, dan sebahasa itu sejak dini, demi kelangsungan dan kemajuan pendidikan bangsa. Sekian dan terima kasih.
Terlepas dari pada itu, generasi-generasi yang baru seharusnya ditanamkan kesatuan setanah air, sebangsa, dan sebahasa itu sejak dini, demi kelangsungan dan kemajuan pendidikan bangsa. Sekian dan terima kasih.
Tuesday, October 2, 2018
Short Story - A Part of Me Inside You
Second short story! I'm honestly very bad at delivering what my mind wants to say into words. I want to show you guys how powerful a friendship could be but I'm not quite sure that you'll get the same message as you read this story. It's okay though. Just read it and don't hesitate to give some advice. Here goes the drama..
Dunia memiliki banyak makna. Isi dunia pun demikian. Bila dijabarkan, butuh sejuta orang untuk mengisi lembaran kosong kertas putih menjadi penuh dengan semua makna dunia. Itu sebabnya 'pengamatan khusus' dilakukan. Dari pengamatan ini, salah satu hal paling bermakna yang seseorang rasakan mengarah pada sebuah kata yang tidak akan pernah asing dalam kehidupan seorang insan, persahabatan. Dalam bahasa Inggris, persahabatan diartikan dalam kata relationship. Itu berarti jika kita bersahabat dengan seseorang sama saja halnya kita tengah membangun sebuah hubungan dengan orang tersebut. Mungkin sulit jika kata ini turut diterjemahkan dengan bahasa cinta, karena nyatanya persahabatan mungkin jauh lebih kuat daripada itu. Butuh satu hari untuk bisa merasakan cinta sejati dengan seseorang, namun butuh bertahun-tahun untuk bisa memiliki persahabatan sejati dengan orang lain. Sebuah tokoh yang sangat kita benci pada halaman pertama sebuah buku, bisa menjadi tokoh paling mengagumkan bagi kita di halaman terakhir buku tersebut.
"Begini, ehm, sepertinya ginjal saudari Trycia sudah tidak dapat berfungsi lagi. Maksud saya adalah, dia membutuhkan transplantasi ginjal secepatnya."
Seketika ruangan menjadi hening, terlihat air mata di wajah Trycia dan itupun yang menimbulkan
kesedihan mendalam dalam hati Diandra. Ia tahu biaya transplantasi itu mahal, hingga ratusan juta, namun bukan itu yang ia pikirkan sekarang. Di lain sisi Trycia sangat bingung bagaimana cara untuk mendapat ginjal baru bagi dirinya. Bagaimana cara untuk membayar ini semua? Apa lebih baik ia mati saja? Tanpa ia sadari, wanita disampingnya itu dapat menjawab semua pertanyaanya. Wanita itu, yang telah tinggal bersama dengan dirinya selama bertahun-tahun, yang telah ia bantu sejak malam pertama mereka bertemu, selama ini menyimpan tekad dalam hatinya untuk membalas kebaikan Trycia. Tepat ketika dokter hendak membuka mulut, Diandra terlebih dulu angkat bicara,
"Ambil ginjalku."
"Apa?! Tidak akan. Din udah, biari.."
"Lo bodoh atau gimana sih? Semua orang di dunia ini juga tahu kalau manusia bisa hidup dengan satu ginjal." Ada sebuah tarikan nafas sebelum ia melanjutkan kalimatnya. "Tapi gue sendiri tahu kalo gue ga akan bisa hidup kalo gaada lo, Sya. Please, take mine."
"Thankyou Din. Gue sayang sama lo."
Dunia memiliki banyak makna. Isi dunia pun demikian. Bila dijabarkan, butuh sejuta orang untuk mengisi lembaran kosong kertas putih menjadi penuh dengan semua makna dunia. Itu sebabnya 'pengamatan khusus' dilakukan. Dari pengamatan ini, salah satu hal paling bermakna yang seseorang rasakan mengarah pada sebuah kata yang tidak akan pernah asing dalam kehidupan seorang insan, persahabatan. Dalam bahasa Inggris, persahabatan diartikan dalam kata relationship. Itu berarti jika kita bersahabat dengan seseorang sama saja halnya kita tengah membangun sebuah hubungan dengan orang tersebut. Mungkin sulit jika kata ini turut diterjemahkan dengan bahasa cinta, karena nyatanya persahabatan mungkin jauh lebih kuat daripada itu. Butuh satu hari untuk bisa merasakan cinta sejati dengan seseorang, namun butuh bertahun-tahun untuk bisa memiliki persahabatan sejati dengan orang lain. Sebuah tokoh yang sangat kita benci pada halaman pertama sebuah buku, bisa menjadi tokoh paling mengagumkan bagi kita di halaman terakhir buku tersebut.
Jakarta, 10.00 PM
Ting ting ting..
Terdengar bel berbunyi, tanda masih ada satu pelanggan terakhir untuk dilayani sebelum kafe benar-benar tutup. Gadis dengan celemek lusuh itu mengerutkan dahi memandangi wanita sebayanya yang memilih tempat duduk di sampng jendela kafe. 'Iiih ini kan sudah mau jam tutup, masih ada aja yang baru datang. Tidak tahu apa aku sudah mulai beres-beres?' gerutunya dalam hati. Kalau diusir, nanti dia kena marah lagi oleh bosnya. Apa boleh buat, Trycia pun memasang muka ramahnya kembali dan menghampiri wanita tersebut.
"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?", tanyanya sambil menyodorkan menu.
"Aku pesan secangkir hot vanilla latte dengan ekstra mint. Dan... bolehkah minta koneksi ke wifi Anda?" tanya wanita itu ragu-ragu.
"Oh tentu saja. Passwordnya caramellatteshop. Jika Anda ingin memesan yang lain, silahkan panggil saya atas nama Trycia ya. Terima kasih." Trycia pun kembali untuk membuatkan pesanan wanita tersebut. Malam itu ia harus bekerja sendiri, karena anak rekan kerjanya sakit dan ia harus pulang lebih cepat. Saat sedang menyiapkan minuman, matanya melirik ke arah wanita tadi. Dari belakang terlihat biasa saja namun, tunggu, apakah ia sedang, menangis? Tapi mengapa? Hatinya diliputi rasa penasaran. Ada niatnya untuk bertanya ketika hendak mengantarkan minumannya nanti, namun sebagian dirinya melarangnya untuk mencampuri urusan orang lain. Pelan-pelan ia memberanikan diri untuk mengantarkan hot vanilla latte pesanan wanita tersebut.
"Ehmm, maaf mengganggu, ini pesanan Anda. Adakah yang bisa saya bantu lagi?" ujar Trycia dengan sejuta pertanyaan dalam benaknya karena jelas-jelas dia melihat pipi wanita itu basah oleh air matanya sendiri. Wanita itu memandangnya cukup lama sampai sebuah pertanyaan keluar dari mulutnya dan mengejutkan Trycia,
"Bolehkah aku memelukmu? Aku benar-benar butuh seseorang saat ini.." ujarnya pelan karena tangisnya yang kembali pecah. Trycia memandangi wanita itu dalam diam. Ia tidak menyangka akan ada permintaan semacam ini selama masanya bekerja di kafe milik bekas majikan ibunya dulu. Wanita itu menyadari keterkejutan Trycia dan cepat-cepat membereskan barangnya karena rasa malu. Ia sendiri tidak menyangka akan mengeluarkan permintaan bodoh semacam itu. 5 detik selanjutnya terjadi keheningan diantara mereka, namun yang terjadi setelah itu tidak terduga. Trycia menarik wanita itu dalam pelukannya, begitu erat, sampai ia sendiri tidak yakin pernah memeluk orang lain sekuat itu. Wanita itu kembali menangis di pundaknya, membuat mereka berdua terlihat seperti dua orang sahabat yang telah melalui suka duka hidup bersama selama bertahun-tahun.
"Maaf aku terlalu spontan, aku tidak punya siapa-siapa saat ini."
"Tidak apa-apa. Tuangkan seluruh masalahmu sekarang. Anggap aku adalah teman baikmu.." ujar Trycia yang mulai meneteskan air mata, seakan turut merasakan kesedihan dari wanita itu.
"Aku Diandra," ucapnya setelah beberapa saat. "Aku baru saja diberhentikan dari kantorku beberapa hari lalu, dan sekarang aku baru saja mendapat kabar kalau ibuku sedang dibawa ke rumah sakit karena terjatuh saat hendak berjualan ke pasar. Aku dalam kondisi tidak memiliki uang dan terancam untuk diusir dari kos-kosanku. Bahkan untuk pulang ke kampung untuk melihat ibuku saja sangat sulit karena tidak ada juga yang bisa kuperbuat disana. Satu-satunya alasanku datang ke kafe ini karena tempat ini sudah sangat sepi dan yang aku butuhkan hanya tempat untuk menangis," jelasnya kepada Trycia. Ia menunggu respon tapi terlihat jelas bahwa lawan bicaranya sedang berpikir, menunjukkan raut wajah khawatir dan bingung.
"Dengar, aku hanya memerlukan teman untuk bercerita. Aku benar-benar tidak mengharapkanmu untuk membantuku dengan cara apapun. Dan ak.."
"Tidak, tidak. Tentu saja aku akan membantumu. Aku mungkin tidak dapat memberikanmu uang, namun aku dapat menyediakanmu tempat tinggal. Kos-kosanku tidak jauh dari sini, kebetulan aku ditempatkan di kamar yang memiliki kasur cadangan dan luasnya juga tidak terlalu sempit. Untuk biaya ibumu bisa kita pikirkan nanti, namun saat ini kau harus beristirahat. Jika ingin bercerita lebih baik menenangkan diri dahulu baru aku akan siap untuk mendengarkanmu kapan saja. Aku..juga tidak punya seorangpun disini. Keluargaku bahkan hanya tahu bahwa aku bekerja di kota, tanpa mengetahui dimana aku berada. Lagipula, kalau aku tetap di kampung aku hanya menjadi beban lebih untuk mereka," jawab Trycia kepada Diandra.
Ia selalu berharap untuk menjadi orang berguna suatu saat dalam kehidupannya. Mungkin dalam mimpinya ia menjadi orang berguna jika ia sudah kaya raya, namun untuk sekarang inilah kesempatan baginya untuk menolong orang lain dengan keterbatasannya.
Diandra sendiri kehabisan akal. Bagaimana Tuhan bisa mempertemukan dirinya dengan Trycia yang kurang lebih senasib dengan dirinya, namun masih rela membantu dan berbagi tempat tinggal? Bukannya itu hanya akan merepotkan dirinya sendiri? Ada pertimbangan untuk menolak dan segera pergi dari kafe itu, namun ini adalah sesuatu yang benar-benar ia butuhkan sekarang. Dengan ragu-ragu Diandra menganggukkan kepalanya menerima tawaran Trycia.
'Suatu saat aku akan membalas kebaikannya.' tekadnya dalam hati.
Mereka tiba di kos-kosan sederhana milik Trycia di saat waktu tepat mengarah ke angka 12. Sama sekali tidak muncul kecurigaan dalam diri Trycia terhadap orang asing yang baru saja ia persilahkan untuk menginap di kos-kosannya. Namun ia yakin apa yang dilakukannya sudah benar, gadis itu butuh bantuan dan manusia macam apa yang rela untuk membiarkan orang lain dalam masalah seperti ini? Dan tanpa seorang pun dari mereka berdua ketahui, hari itulah menjadi permulaan akan sebuah ikatan sahabat yang sejati.
3 tahun kemudian, 11.00 PM
"DIDIIIN, SISIR GUE KEMANAA?" teriak Trycia dari dalam kamar mandi.
"GATAU BEB KECEMPLUNG KE WC KALII" jawab Diandra yang sedang sibuk berdandan. Ini adalah hari penting bagi mereka berdua. Setelah pertemuan pertama mereka waktu itu, Diandra diterima untuk bekerja di kafe yang sama dengan Trycia. Dari sejak saat itulah persahabatan mereka mulai terbangun. Mereka mulai mengenal kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berbagai masalah mereka lewati bersama, dari mulai kekurangan uang sampai membeli sebuah barang bersama. Tak terasa setahun lamanya mereka bekerja, kafe yang dulunya sepi sekarang menjadi ramai menjadi salah satu tempat paling dikunjungi di kota tersebut. Tepat sebulan lalu terhitung hari ini, sang pemilik kafe memanggil Trycia, menawarkan sebuah pekerjaan di sebuah hotel bintang lima. Ia pun menyetujuinya, dengan permintaan bahwa Diandra juga ikut bekerja bersamanya. Ia tidak akan membiarkan sahabatnya itu tertinggal di kota ini sendirian. Pemilik kafe pun setuju. Hari ini adalah saatnya bagi mereka untuk datang ke hotel tersebut.
Diandra telah selesai mempercantik wajahnya. Ia hendak berdiri ketika mendengar suara keras seperti barang terjatuh dari arah kamar mandi. Merasa ada sesuatu yang tidak beres ia pun bergegas membuka pintu kamar mandi yang tidak terkunci. Betapa terkejutnya ia melihat Trycia yang sedang memegangi pinggangnya mengaduh kesakitan di lantai kamar mandi.
"Sya! Lo kenapa?!" tanyanya panik sambil memegangi tubuh sahabatnya.
"Gatau Din, pinggang gue sakit banget. Pas gua mau ngambil obat ternyata lantainya licin jadinya gue jatoh,"
Diandra sedikit lega karena ternyata Trycia tidak terjatuh karena rasa sakitnya. Tapi ia merasa perlu untuk memeriksakan sakit temannya ke dokter karena Trycia belum pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya. Mereka pun bergerak cepat karena mereka harus bertemu dengan calon atasan mereka jika mereka diterima kelak pukul 03.00 sore. Sesampainya di rumah sakit, Trycia berkonsultasi sendiri sedangkan Diandra menunggu di luar. Pintu ruangan pun kembali terbuka dan terlihat sahabat terkasih Diandra keluar dengan raut wajah sedih.
"Din, dokter bilang gue, ga.,ga.,gagal ginjal. Gimana dong, gue takut Din," tangisnya di pelukan Diandra. "Dia bilang belum akut, tapi udah mulai parah dan gue harus dirawat sekarang juga. Kayaknya lo doang yang bisa diterima di hotel itu, gapapa Din pergi aja, gue ikhlas kok."
"Apa? Engga. Kalo lo ga diterima, gue juga engga. Masa iya gue dapet kerjaan bagus sementara lo disini, ngelewatin penyakit sialan ini sendirian? Yang bikin gue hidup sampe sekarang ya lo Sya, dan gue bakal ada disini buat lo," tolak Diandra mentah-mentah.
3 bulan pun berlalu, namun kondisi Trycia tidak kunjung membaik. Kesempatan bekerja di hotel yang ditawarkan atasan mereka pun hilang, karena tidak ada satupun dari keduanya yang menyanggupi persyaratan untuk hadir dalam tes dan wawancara. Diandra sedang membantu Trycia untuk meminum obat, ketika Trycia kembali mengaduh kesakitan. Dokter pun datang. Terlihat raut wajah khawatir di mukanya. Diandra pun membuka suara dan memberanikan diri untuk bertanya,
"Ada apa, Dok? Apakah teman saya baik-baik saja?"
Diandra sendiri kehabisan akal. Bagaimana Tuhan bisa mempertemukan dirinya dengan Trycia yang kurang lebih senasib dengan dirinya, namun masih rela membantu dan berbagi tempat tinggal? Bukannya itu hanya akan merepotkan dirinya sendiri? Ada pertimbangan untuk menolak dan segera pergi dari kafe itu, namun ini adalah sesuatu yang benar-benar ia butuhkan sekarang. Dengan ragu-ragu Diandra menganggukkan kepalanya menerima tawaran Trycia.
'Suatu saat aku akan membalas kebaikannya.' tekadnya dalam hati.
Mereka tiba di kos-kosan sederhana milik Trycia di saat waktu tepat mengarah ke angka 12. Sama sekali tidak muncul kecurigaan dalam diri Trycia terhadap orang asing yang baru saja ia persilahkan untuk menginap di kos-kosannya. Namun ia yakin apa yang dilakukannya sudah benar, gadis itu butuh bantuan dan manusia macam apa yang rela untuk membiarkan orang lain dalam masalah seperti ini? Dan tanpa seorang pun dari mereka berdua ketahui, hari itulah menjadi permulaan akan sebuah ikatan sahabat yang sejati.
3 tahun kemudian, 11.00 PM
"DIDIIIN, SISIR GUE KEMANAA?" teriak Trycia dari dalam kamar mandi.
"GATAU BEB KECEMPLUNG KE WC KALII" jawab Diandra yang sedang sibuk berdandan. Ini adalah hari penting bagi mereka berdua. Setelah pertemuan pertama mereka waktu itu, Diandra diterima untuk bekerja di kafe yang sama dengan Trycia. Dari sejak saat itulah persahabatan mereka mulai terbangun. Mereka mulai mengenal kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berbagai masalah mereka lewati bersama, dari mulai kekurangan uang sampai membeli sebuah barang bersama. Tak terasa setahun lamanya mereka bekerja, kafe yang dulunya sepi sekarang menjadi ramai menjadi salah satu tempat paling dikunjungi di kota tersebut. Tepat sebulan lalu terhitung hari ini, sang pemilik kafe memanggil Trycia, menawarkan sebuah pekerjaan di sebuah hotel bintang lima. Ia pun menyetujuinya, dengan permintaan bahwa Diandra juga ikut bekerja bersamanya. Ia tidak akan membiarkan sahabatnya itu tertinggal di kota ini sendirian. Pemilik kafe pun setuju. Hari ini adalah saatnya bagi mereka untuk datang ke hotel tersebut.
Diandra telah selesai mempercantik wajahnya. Ia hendak berdiri ketika mendengar suara keras seperti barang terjatuh dari arah kamar mandi. Merasa ada sesuatu yang tidak beres ia pun bergegas membuka pintu kamar mandi yang tidak terkunci. Betapa terkejutnya ia melihat Trycia yang sedang memegangi pinggangnya mengaduh kesakitan di lantai kamar mandi.
"Sya! Lo kenapa?!" tanyanya panik sambil memegangi tubuh sahabatnya.
"Gatau Din, pinggang gue sakit banget. Pas gua mau ngambil obat ternyata lantainya licin jadinya gue jatoh,"
Diandra sedikit lega karena ternyata Trycia tidak terjatuh karena rasa sakitnya. Tapi ia merasa perlu untuk memeriksakan sakit temannya ke dokter karena Trycia belum pernah mengalami hal semacam ini sebelumnya. Mereka pun bergerak cepat karena mereka harus bertemu dengan calon atasan mereka jika mereka diterima kelak pukul 03.00 sore. Sesampainya di rumah sakit, Trycia berkonsultasi sendiri sedangkan Diandra menunggu di luar. Pintu ruangan pun kembali terbuka dan terlihat sahabat terkasih Diandra keluar dengan raut wajah sedih.
"Din, dokter bilang gue, ga.,ga.,gagal ginjal. Gimana dong, gue takut Din," tangisnya di pelukan Diandra. "Dia bilang belum akut, tapi udah mulai parah dan gue harus dirawat sekarang juga. Kayaknya lo doang yang bisa diterima di hotel itu, gapapa Din pergi aja, gue ikhlas kok."
"Apa? Engga. Kalo lo ga diterima, gue juga engga. Masa iya gue dapet kerjaan bagus sementara lo disini, ngelewatin penyakit sialan ini sendirian? Yang bikin gue hidup sampe sekarang ya lo Sya, dan gue bakal ada disini buat lo," tolak Diandra mentah-mentah.
3 bulan pun berlalu, namun kondisi Trycia tidak kunjung membaik. Kesempatan bekerja di hotel yang ditawarkan atasan mereka pun hilang, karena tidak ada satupun dari keduanya yang menyanggupi persyaratan untuk hadir dalam tes dan wawancara. Diandra sedang membantu Trycia untuk meminum obat, ketika Trycia kembali mengaduh kesakitan. Dokter pun datang. Terlihat raut wajah khawatir di mukanya. Diandra pun membuka suara dan memberanikan diri untuk bertanya,
"Ada apa, Dok? Apakah teman saya baik-baik saja?"
"Begini, ehm, sepertinya ginjal saudari Trycia sudah tidak dapat berfungsi lagi. Maksud saya adalah, dia membutuhkan transplantasi ginjal secepatnya."
Seketika ruangan menjadi hening, terlihat air mata di wajah Trycia dan itupun yang menimbulkan
kesedihan mendalam dalam hati Diandra. Ia tahu biaya transplantasi itu mahal, hingga ratusan juta, namun bukan itu yang ia pikirkan sekarang. Di lain sisi Trycia sangat bingung bagaimana cara untuk mendapat ginjal baru bagi dirinya. Bagaimana cara untuk membayar ini semua? Apa lebih baik ia mati saja? Tanpa ia sadari, wanita disampingnya itu dapat menjawab semua pertanyaanya. Wanita itu, yang telah tinggal bersama dengan dirinya selama bertahun-tahun, yang telah ia bantu sejak malam pertama mereka bertemu, selama ini menyimpan tekad dalam hatinya untuk membalas kebaikan Trycia. Tepat ketika dokter hendak membuka mulut, Diandra terlebih dulu angkat bicara,
"Ambil ginjalku."
"Apa?! Tidak akan. Din udah, biari.."
"Lo bodoh atau gimana sih? Semua orang di dunia ini juga tahu kalau manusia bisa hidup dengan satu ginjal." Ada sebuah tarikan nafas sebelum ia melanjutkan kalimatnya. "Tapi gue sendiri tahu kalo gue ga akan bisa hidup kalo gaada lo, Sya. Please, take mine."
"Thankyou Din. Gue sayang sama lo."
![]() |
"Everyone has a friend during each stage of life. But only lucky ones have the same friend in all stages of life." |
Wednesday, September 12, 2018
Short Story - Perpisahan
Hii! So this is my 'actual' first short story. Apologize if you feel that 'cringe feelings' while you reading this because I'm an amateur writer:(
If there are mistakes that you found on this text please don't hesitate to leave a feedback in the comment section. Enjoy!
If there are mistakes that you found on this text please don't hesitate to leave a feedback in the comment section. Enjoy!
Bus itu berhenti di hadapannya. Tepat waktu di saat awan mulai kehilangan kekuatan untuk menahan tangisnya hari itu. Sepatu hitam berlumpur itu membawanya duduk ke dalam bus. Dia, laki-laki muda yang mungkin sedang merasa senasib dengan awan-awan di langit. Jika bukan karena kondisi penumpang yang sedikit ramai malam itu, air mata mungkin sudah membanjiri wajah tampannya.
Sebastian Dirga, namanya. Dia lebih suka dipanggil 'Tian', karena nama itu adalah nama panggilan yang diberikan oleh orang terdekatnya. Hati Tian selalu menghangat tiap mendengar nama itu diucapkan, setidaknya sampai malam ini. Malam dimana ia merasa lebih baik jika seseorang membunuhnya kemarin, daripada ia harus mengalami rasa sakit yang ia rasakan saat ini. Bagai jutaan pisau menghujam hatinya ketika ia tahu kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan yang terkunci rapat-rapat selama 6 tahun perjalanan asmara dua orang manusia. Kenyataan yang mungkin tidak akan terungkap tanpa sang pemegang kunci.
'Kenapa harus sekarang?!' teriak Tian dalam benaknya. Ia kembali teringat memori indah bersama gadis itu, satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang mampu mengisi dunianya, mengukir senyum di wajahnya, membuat hari-harinya penuh warna. Terlalu puitis? Bukan hanya wanita saja yang bisa, laki-laki pun punya perasaan demikian. Suara air hujan yang mengetuk-ngetuk kaca bus semakin keras, pertanda langit juga turut merasakan kesedihannya. Ia mulai terlelap di tengah kedinginan malam, sampai suatu suara keras membuka matanya.
24 jam sebelumnya...
Tiara menyisir rambut hitamnya di hadapan cermin. Ini saatnya. Sekarang atau tidak sama sekali, batinnya. Esok hari ia akan memberitahukan segalanya. Esok hari tidak akan ada lagi rahasia yang harus ia sembunyikan. Esok hari segalanya akan berakhir, termasuk cinta yang telah terukir dalam hatinya selama 6 tahun. Mengingat hal itu membuat rasa sakit kembali muncul di dadanya. Seketika mata indah cokelatnya tertuju pada sebuah foto yang tertempel di kaca riasnya. Foto dia dan seorang manusia lain yang membuatnya berpikir bahwa lebih baik ia menghembuskan nafas terakhirnya sekarang daripada harus mengumbar rahasia kelam dalam hidup keluarganya. Perlahan-lahan bola matanya kembali memanas dan menuntut agar dibasahi oleh aliran air kesedihan. Kakinya pun tidak kuat untuk menopang tubuhnya sehingga ia terjatuh di kamar tidurnya sendiri.
1 jam, 2 jam, Tiara masih tidak bergeming dari tempat duduknya. Ia sadar betul bahwa ini akan menjadi hal tersulit selama hidupnya dan sepanjang hidupnya. Apakah merelakan seseorang yang menjadi cinta sejatimu untuk pergi dan mencari kebahagiaan dengan orang lain itu mudah? Hanya orang gila yang bisa berkata seperti itu. Namun apa daya, ia tidak bisa lari dari kenyataan lagi kali ini. Sebelum semuanya terlambat, ia harus menyudahi kisah cintanya dengan laki-laki yang sangat ia cintai. Gadis itu mengumpulkan kekuatan yang tersisa dalam dirinya untuk bangkit dan bersiap-siap. Tak henti-henti ia mengulang kembali kata-kata yang akan ia ucapkan besok. Bukan sehari atau dua hari mempersiapkan hal ini, butuh 5 bulan baginya untuk benar-benar siap untuk melepas orang itu pergi. Mereka bilang menunda-nunda adalah sesuatu yang orang bodoh lakukan, tapi kali ini dia tidak peduli terhadap apa yang orang lain katakan. Ia ingin menghabiskan waktu-waktu terakhirnya dengan bahagia, karena ia tahu sampai kapanpun juga ia tidak akan menemukan orang lain yang mengubah hidupnya seperti ini.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Tiara tersenyum pada cermin untuk terakhir kalinya. Ia lalu membaringkan kepalanya di tempat tidur sambil tersenyum memikirkan orang itu untuk kesekian kalinya, Sebastian Dirga.
12 jam sebelumnya...
Tian terbangun karena sinar matahari yang menyusup lewat jendela kamarnya. Sedetik kemudian senyum mengembang di wajahnya. Ini hari yang ia tunggu-tunggu. Tangannya meraih sesuatu dari night stand. Sesuatu yang kecil berwarna emas berkilauan. Dia sudah siap. Tibalah saat untuk membuat sang kekasih hati menjadi miliknya secara sah di hadapan Tuhan dan negara. Malam ini ia akan melamar gadis yang sudah ditakdirkan menjadi cinta sejatinya, Tiara. Pikirannya sudah kacau, antara gugup, gelisah, gembira, semua dirasakannya saat ini.
Seakan yakin bahwa lamarannya akan diterima, Tian telah mempersiapkan hampir segalanya, termasuk gaun pengantin yang akan dipakai Tiara nanti. Gaun yang telah di desain oleh perancang busana modern terbaik namun modelnya mengikuti desain gaun pengantin yang pernah dipakai oleh ibunya Tiara. Dia pasti akan sangat senang. Tian meraih jam tangannya. Ia harus berkerja sampai sore nanti sebelum dapat menjemput Tiara di apartemennya. Semua pakaian, sepatu, dan perlengkapan lainnya telah dia persiapkan semalaman. Jiwanya begitu bergairah sampai-sampai tidak ada sedikitpun hal yang tidak diharapkan terlintas dalam benaknya. Tiara akan dan harus menjadi miliknya seorang.
3 jam sebelumnya...
Waktunya telah tiba. Waktu bagi Tian untuk mencoba bersatu selamanya, sedangkan waktu bagi Tiara untuk menyatakan 'pisah' selamanya. Tak ada satupun dari mereka yang mengetahui rencana dari masing-masing orang. Pukul 19.00, mereka tiba di hotel berbintang lima di tengah kota. Lift membawa mereka ke lantai teratas tempat restoran romantis itu berada.
"Selamat malam, reservasi atas nama siapa?", sapa salah satu pegawai dengan ramah.
"Atas nama Sebastian dan Tiara Dirga, mas," balas Tian sambil tersenyum. Mendengar ini bola mata Tiara kembali memanas. Ia sadar betul bahwa sampai kapanpun ia tidak akan bisa menggunakan nama "Dirga" di belakang namanya. Itu tidak boleh terjadi. Tiara tetap membalas senyuman Tian, senyuman yang sebentar lagi tidak akan menjadi miliknya.
Sebelumnya, Tian sudah memesan makanan via telefon yaitu makanan kesukaan dia dan Tiara. Seusai menyantap hidangan, Tian membawa Tiara ke dance floor sebagai permulaan untuk melancarkan aksinya. Di samping restoran itu terdapat balkon kecil bagi pasangan yang ingin menikmati pemandangan malam kota itu. Perlahan-lahan ia menggenggam tangan mungil gadisnya itu dan berjalan menuju balkon kecil tersebut. Ketika pintu balkon tertutup, Tiara merasa sedikit lega karena itu berarti pembicaraan mereka tidak akan terdengar oleh siapapun. Namun hatinya berteriak-teriak menyuruhnya untuk meninggalkan tempat itu sekarang juga. Dalam keheningan, Tiara berhasil mengumpulkan suaranya.
"Tian, ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu," kata Tiara lemah.
"Benarkah? Aku senang-senang saja mendengarnya, tapi ada sesuatu yang ingin kuucapkan terlebih dahulu. Begini, uhm.."
"Ya? Ada apa Tian?" tanya Tiara yang semakin penasaran.
Tanpa diduga Tian berlutut dengan satu kaki di hadapan Tiara. Hal yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar ekspektasinya.
"Ra, for 6 years we've been through a lot of things together and I think now it's the time to take our relationship to another whole different level. I love you so so much and I want you to be my life time partners, be the mother of my children, and be the person that stays beside me for the rest of my life. Will you marry me?"
Seketika itu juga tangis Tiara tidak dapat dibendung lagi. Ia menutup mulutnya sambil menangis.
Tian yang melihat itu terheran-heran sekaligus sedih. Ia tahu Tiara bukan menangis karena kebahagiaan. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. Hati Tian sudah hancur berkeping-keping tanpa mendengar alasan apa yang akan Tiara berikan. Tak selang beberapa waktu Tiara membuka suaranya.
"Tian, I'm really sorry. I love you more than anything, but there's one truth that you have to know and because of that reason I don't think we can be together like this forever. You see our similarities? We always thought that it was a good thing for our relationship but you know what? You and I, we're not meant to complete each other. We were meant to help each other weaknesses, because we were made on the same factory. You're my brother, Tian."
"Apa? Tidak, tidak mungkin. Mana ada hal sekonyol itu, Ra! Kita jelas-jelas berasal dari keluarga yang berbeda. Mengapa kau berkata seperti itu?" hardik Tian.
"Itu semua benar. Beberapa bulan yang lalu, kau tahu kan Ayah datang dari Amerika? Pada saat itu kamu tidak bisa menemuinya karena urusan kantor. Ia penasaran sekali dengan wajahmu sehingga aku hanya menunjukkan fotomu saja. Ketika itu Ayah tampak sangat kaget dan menyuruhku untuk segera mengakhiri segalanya denganmu. Awalnya ia tidak ingin memberitahu alasannya, tapi sebelum ia berangkat kembali ia memberiku sepucuk surat yang menjelaskan semuanya. Ibumu adalah gadis yang menjadi kekasih Ayah sebelum ia mengenal ibuku. Dan, se..setelah mereka be..berpisah ternyata..." tangis Tiara pecah untuk kedua kalinya malam itu.
"Besok aku sudah harus pergi. Setelah peristiwa ini Ayah memintaku untuk tinggal disana. Setelah pekerjaannya selesai ia pasti akan menemuimu dan aku benar-benar berharap kau akan baik-baik saja sampai waktu itu tiba. Selamat tinggal, Tian. Aku mencintaimu."
Seketika Tian diam seribu bahasa. Kenyataan yang ia dengar barusan seakan terlalu berat untuk dipahami olehnya. Otaknya berputar mengingat kenangan dengan ibunya. Seperti diterjang ombak, pikirannya terbuka tentang kehidupan keluarganya selama ini. Kenapa almarhum ibunya tidak pernah terlihat bahagia, kenapa orang tuanya sering bertengkar. Jadi ini kenyataannya. Tubuh Tian masih kaku tak bergerak layaknya sebuah patung. Melihat reaksi ini Tiara segera berlari keluar restoran karena ia tidak tahu akan seperti apa rasa sakitnya jika ia tetap berada disitu.
Tak lama sesudah Tiara pergi air mata Tian menetes satu per satu. Dengan kekuatannya ia menonjok tembok yang ada di dekatnya, menghasilkan suara tulang yang retak. Sakit. Itu yang Tian rasakan. Ia tidak peduli pada sakit di tangannya, ia jauh lebih terluka dengan sakit yang baru saya tertoreh dalam hatinya. Tian pun berteriak-teriak seperti orang kesetanan sampai security harus membawa dia keluar karena khawatir mengganggu kenyamanan pengunjung restoran yang lain.
Setelah beranjak dari hotel Tian mengambil sepeda motornya. Ia mengendarai motor tersebut dengan kecepatan maksimum berharap nyawanya akan diambil saat itu juga. Namun takdir berkata lain. Ia tiba di apartemennya dengan utuh. Tian berdiam diri selama berjam-jam menangisi apa yang baru saja terjadi. Ia masih tidak bisa menerima kalau Tiara tidak akan pernah menjadi miliknya lagi untuk selamanya. Baginya, penjelasan Tiara tadi belum cukup untuk memisahkan cinta mereka. Ia butuh lebih, oleh sebab itu ia mengemasi barangnya untuk pulang ke rumah ayahnya. Ketika sampai di halte Tian membeli jadwal operasi bus yang tercepat. Ia pun berdiri di samping jalan, entah menatap kemana. Jiwanya bagai terbelah menjadi dua. Rahangnya mengeras dan ia mengepalkan tangannya kuat-kuat berusaha memendam perasaan yang ingin meledak saat itu juga.
Pukul 21.00. Bus itu berhenti di hadapannya. Tepat waktu di saat awan mulai kehilangan kekuatan untuk menahan tangisnya hari itu. Sepatu hitam berlumpur itu membawanya duduk ke dalam bus.
Tian duduk di barisan terdepan tepat di belakang supir. Rasanya ingin berteriak, rasanya ingin memaki, rasanya ingin menangis, rasanya ingin keluar dari bus dan menyusul Tiara serta memohon agar bersedia untuk terus mendampinginya. Kenapa Tuhan memberikan ujian seberat ini? Kenapa takdir begitu kejam pada dirinya? Mereka hanya ingin bersatu, tidak meminta lebih. Semua cobaan lain boleh didatangkan pada mereka berdua asalkan mereka tetap bersama. Dengan begitu ia tetap akan kuat apapun yang terjadi. Itu sesuatu yang Tian yakini. Emosinya perlahan-lahan mulai terbawa seiring perjalanan. Ia pun memejamkan mata sejenak, ingin beristirahat untuk mempersiapkan diri akan apa yang terjadi setelah ini. Hujan semakin deras. Ia mulai terlelap di tengah kedinginan malam, sampai suatu suara keras membuka matanya.
Wednesday, August 8, 2018
SHORT STORY : OBOR ASIAN GAMES 2018
Tes..tes..tes..
Butiran air hujan mengetuk-ngetuk jendela kamar Aileen. Suasana sejuk menyusup ke dalam kamarnya, menambah ketenangan dan kedamaian untuk merenung atau beristirahat, setidaknya untuk sebagian orang. Lain cerita untuk gadis 7 tahun yang satu ini. Jemari-jemari tangan kecilnya sangat sibuk memainkan rambut dan wajah mungilnya menimbulkan beberapa kerutan dahi tanda bahwa ia sedang berpikir keras. Mengapa ya?
Hari itu, adalah hari keempat dalam satu minggu, satu hitungan hari setelah hari Rabu, dan satu hitungan hari sebelum hari Jumat. Ya, hari Kamis. Tadi siang, Ibu guru memberikan sebuah tugas rumah yang harus dikumpulkan esok hari. Membuat gambar mengenai suatu peristiwa besar yang akan disambut dan menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia, Asian Games. Setiap anak diperbolehkan menggambar apapun asalkan berkaitan dengan event tersebut. Untuk sebagian teman-teman Aileen, memang tidak sulit mencari inspirasi menggambar, karena di Asian Games ada banyak sekali cabang-cabang olahraga yang digemari tidak hanya oleh kaum dewasa, namun juga kaum anak-anak. Lain halnya dengan Aileen, dari dulu ia selalu mencari sesuatu yang berbeda dari yang lain. Ditambah, gadis kecil itu menerima talenta untuk menggambar dengan baik sejak berumur 3 tahun. Termasuk dalam tugas kali ini. Sebelumnya, Aileen memang tidak tahu banyak tentang Asian Games, namun ia tetap berusaha untuk mendapat nilai terbaik untuk tugas tersebut.
30 menit, dia disitu, tanpa suara. Tak ada seberkas pun ide yang terlintas dalam pikirannya, namun ia masih belum menyerah. Kaki kecilnya melangkah keluar kamar menuju ruang baca ayahnya. Terlihat oleh Aileen setumpuk koran langganan ayahnya. Koran teratas pasti masih baru. Seharusnya ada berita tentang Asian Games disitu, batinnya. Ternyata benar tebakannya. Salah satu judul koran dari 3 hari yang lalu bertuliskan : PAWAI OBOR ASIAN GAMES : PALEMBANG PECAHKAN REKOR.
Aileen kecil merasa gembira sekaligus terheran-heran. Apa itu Obor Asian Games? Ia pun beranjak menemui ayahnya untuk bertanya.
"Ayah, Aileen boleh ganggu sebentar saja gak?" tanya Aileen pada ayahnya, Pak Ferdinan yang sedang berkutat serius dengan laptopnya.
"Boleh dong. Apa yang ingin kamu tanyakan, Nak?" sahut Pak Ferdinan dengan tangan terbuka.
"Jadi begini, Aileen dapet tugas dari guru buat bikin gambar tentang Asian Games. Aileen gamau gambar olahraga-olahraga gitu soalnya temen-temen Aileen gambarnya begituan semua. Terus, pas Aileen cari berita di ruangan Ayah ada berita ini. Maksudnya obor apa si, Yah?" terang Aileen sambil menyodorkan koran yang telah dia ambil sebelumnya.
"Oh, sini Ayah jelaskan. Jadi obor Asian Games ini sebenarnya simbolis semangat dari bangsa Indonesia dalam rangka menyambut Asian Games. Kamu tahu tidak? Api yang menyala di obor itu sangat unik lho.. Apinya itu gabungan dari api abadi India dengan api abadi Jawa Tengah."
"Api abadi itu apa Yah artinya?"
"Api abadi itu, api yang tidak akan padam. Jadi kalau tidak ada usaha buat matiiin apinya, dia akan nyala terus begitu. Nah, Ayah lanjut ya. Setelah dinyalakan, Obor Asian Games dibawa berkeliling Indonesia." jelas Pak Ferdinan.
"Berkeliling Indonesia? Wah enak sekali jadi obor itu Yah! Kalau begitu judul gambar Aileen "Obor yang Jalan-jalan" saja, kan cocok. Yasudah terima kasih ya Ayah sudah jelasin ke Aileen. Sekarang Aileen mau mulai gambar dulu. Dah Ayah!" seru Aileen yang sudah tidak sabar ingin memulai karyanya. Dari kejauhan Pak Ferdinan tertawa kecil melihat tingkah anak semata wayangnya yang spesial itu. Di dalam kamar, Aileen membuat lukisan sebuah obor dengan api berwarna biru yang dibawa oleh 1 orang dengan kaos bertuliskan Asian Games 2018. Dan keesokan harinya, nilai sempurna didapatkan oleh Aileen kecil yang tidak hanya terpuaskan oleh pencapaian nilainya, namun juga oleh pengetahuan baru dari Ayah yang ia dapatkan semalam.
Butiran air hujan mengetuk-ngetuk jendela kamar Aileen. Suasana sejuk menyusup ke dalam kamarnya, menambah ketenangan dan kedamaian untuk merenung atau beristirahat, setidaknya untuk sebagian orang. Lain cerita untuk gadis 7 tahun yang satu ini. Jemari-jemari tangan kecilnya sangat sibuk memainkan rambut dan wajah mungilnya menimbulkan beberapa kerutan dahi tanda bahwa ia sedang berpikir keras. Mengapa ya?
Hari itu, adalah hari keempat dalam satu minggu, satu hitungan hari setelah hari Rabu, dan satu hitungan hari sebelum hari Jumat. Ya, hari Kamis. Tadi siang, Ibu guru memberikan sebuah tugas rumah yang harus dikumpulkan esok hari. Membuat gambar mengenai suatu peristiwa besar yang akan disambut dan menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia, Asian Games. Setiap anak diperbolehkan menggambar apapun asalkan berkaitan dengan event tersebut. Untuk sebagian teman-teman Aileen, memang tidak sulit mencari inspirasi menggambar, karena di Asian Games ada banyak sekali cabang-cabang olahraga yang digemari tidak hanya oleh kaum dewasa, namun juga kaum anak-anak. Lain halnya dengan Aileen, dari dulu ia selalu mencari sesuatu yang berbeda dari yang lain. Ditambah, gadis kecil itu menerima talenta untuk menggambar dengan baik sejak berumur 3 tahun. Termasuk dalam tugas kali ini. Sebelumnya, Aileen memang tidak tahu banyak tentang Asian Games, namun ia tetap berusaha untuk mendapat nilai terbaik untuk tugas tersebut.
30 menit, dia disitu, tanpa suara. Tak ada seberkas pun ide yang terlintas dalam pikirannya, namun ia masih belum menyerah. Kaki kecilnya melangkah keluar kamar menuju ruang baca ayahnya. Terlihat oleh Aileen setumpuk koran langganan ayahnya. Koran teratas pasti masih baru. Seharusnya ada berita tentang Asian Games disitu, batinnya. Ternyata benar tebakannya. Salah satu judul koran dari 3 hari yang lalu bertuliskan : PAWAI OBOR ASIAN GAMES : PALEMBANG PECAHKAN REKOR.
Aileen kecil merasa gembira sekaligus terheran-heran. Apa itu Obor Asian Games? Ia pun beranjak menemui ayahnya untuk bertanya.
"Ayah, Aileen boleh ganggu sebentar saja gak?" tanya Aileen pada ayahnya, Pak Ferdinan yang sedang berkutat serius dengan laptopnya.
"Boleh dong. Apa yang ingin kamu tanyakan, Nak?" sahut Pak Ferdinan dengan tangan terbuka.
"Jadi begini, Aileen dapet tugas dari guru buat bikin gambar tentang Asian Games. Aileen gamau gambar olahraga-olahraga gitu soalnya temen-temen Aileen gambarnya begituan semua. Terus, pas Aileen cari berita di ruangan Ayah ada berita ini. Maksudnya obor apa si, Yah?" terang Aileen sambil menyodorkan koran yang telah dia ambil sebelumnya.
"Oh, sini Ayah jelaskan. Jadi obor Asian Games ini sebenarnya simbolis semangat dari bangsa Indonesia dalam rangka menyambut Asian Games. Kamu tahu tidak? Api yang menyala di obor itu sangat unik lho.. Apinya itu gabungan dari api abadi India dengan api abadi Jawa Tengah."
"Api abadi itu apa Yah artinya?"
"Api abadi itu, api yang tidak akan padam. Jadi kalau tidak ada usaha buat matiiin apinya, dia akan nyala terus begitu. Nah, Ayah lanjut ya. Setelah dinyalakan, Obor Asian Games dibawa berkeliling Indonesia." jelas Pak Ferdinan.
"Berkeliling Indonesia? Wah enak sekali jadi obor itu Yah! Kalau begitu judul gambar Aileen "Obor yang Jalan-jalan" saja, kan cocok. Yasudah terima kasih ya Ayah sudah jelasin ke Aileen. Sekarang Aileen mau mulai gambar dulu. Dah Ayah!" seru Aileen yang sudah tidak sabar ingin memulai karyanya. Dari kejauhan Pak Ferdinan tertawa kecil melihat tingkah anak semata wayangnya yang spesial itu. Di dalam kamar, Aileen membuat lukisan sebuah obor dengan api berwarna biru yang dibawa oleh 1 orang dengan kaos bertuliskan Asian Games 2018. Dan keesokan harinya, nilai sempurna didapatkan oleh Aileen kecil yang tidak hanya terpuaskan oleh pencapaian nilainya, namun juga oleh pengetahuan baru dari Ayah yang ia dapatkan semalam.
The End.
Thursday, July 26, 2018
MENGAPA 68 MENJADI PILIHAN SAYA?
Dari awal menginjak kelas 9, saya diperhadapkan dengan sebuah pilihan yang menjadi penentu masa depan saya, yaitu memilih sekolah menengah keatas. Jujur, pada awalnya orientasi SMA tujuan saya adalah SMAN 8. Karena ingin memperoleh yang terbaik, saya mengikuti bimbel untuk mendapat nilai NEM yang tinggi saat Ujian Nasional. SMAN 68 pada saat itu menjadi pilihan nomor 2 dalam rencana saya mengikuti jalur umum. Namun, saat bimbel saya mendapat pengarahan lebih lanjut mengenai SMA-SMA terbaik untuk menjadi pilihan di Jakarta. Diantara seluruh SMA, mereka menyebutkan SMAN 8, 28, 81, 68 dan sebagainya. Bimbel saya juga menjelaskan informasi secara detail mengenai berapa persentase murid dari sekolah-sekolah tersebut yang berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (UI) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Dari situlah saya mulai mengetahui bahwa ternyata SMAN 68 memiliki lebih banyak kuota untuk masuk ke UI. Fokus saya dari awal memang ke data tersebut karena saya bercita-cita untuk masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Itulah pertimbangan pertama saya untuk memilih SMAN 68.
Selanjutnya, adalah jarak tempuh dari rumah saya ke sekolah. SMA Negeri yang ada di dekat rumah saya kurang memberikan peluang besar bagi saya untuk masuk ke perguruan tinggi yang saya tuju. Rumah saya berada di Jakarta Utara dan dengan alasan tersebut saya mengambil risiko untuk tidak mengikutsertakan nama saya dalam jalur lokal dan hanya mengikuti jalur umum. Masih mengenai jarak tempuh, setelah dipikir-pikir ulang jarak rumah saya dengan SMAN 8,28, atau 81 terlalu jauh dan kurang rasional untuk dijalani setiap hari. Jarak dari rumah saya ke SMAN 68 hanya memakan waktu kurang dari 30 menit sehingga ini memberikan saya alasan yang lebih kuat untuk memilih SMAN 68.
Pertimbangan ketiga datang setelah NEM Ujian Nasional diumumkan. Waktu itu, saya mencapai NEM yang cukup membuat saya optimis untuk dapat diterima di SMAN 68. Selain itu, saya juga membaca dari internet bahwa SMAN 68 adalah SMA terbaik di Jakarta Pusat dan no. 4 terbaik di seluruh DKI Jakarta. Setelah mengecek website-website lain berkaitan dengan SMAN 68, termasuk prestasi yang tidak hanya gemilang di bidang akademik namun juga non-akademik, saya memantapkan diri saya untuk menjadikan SMAN 68 pilihan pertama saya di jalur umum.
Ketiga alasan tersebutlah yang menjadi alasan-alasan utama. Awalnya keraguan timbul karena masuk SMAN 68 berarti saya harus beradaptasi dengan lingkungan yang benar-benar baru bagi saya. Jumlah orang yang saya kenal sangat sedikit dan saya belum pernah bersekolah di sekolah negeri sebelumnya. Meskipun begitu, dorongan lain saya dapatkan juga dari orang-orang terdekat saya,seperti kedua orang tua, keluarga besar, serta teman-teman saya yang selalu mendukung selama proses perjuangan diterima di SMA negeri.
Demikianlah sedikit penjelasan saya mengenai alasan dan pertimbangan untuk masuk SMAN 68 dan saya sangat bersyukur karena berhasil untuk melanjutkan studi saya disini. Terima kasih :)
Wednesday, July 25, 2018
A LEADER FROM THE PAST : GENERAL OF THE ARMY SUDIRMAN
The name Sudirman, maybe very familiar to Indonesia citizen. Numerous streets are named after Sudirman, including a major street in Jakarta, the capital city of Indonesia. A university located in Banyumas also named after Sudirman. There are a lot of statues, monuments, museums, and other things that were dedicated for Sudirman. So as the examples went on and on, of course it is a little bit surprising for me if you called yourself Indonesian, but hasn't known or even heard about Sudirman. But for those who already knew, let's just stay innocent and read this article for a while.
Sudirman, before he was known as a big general that led a couple of Indonesia's biggest war, was born in a very traditional and simple family that lived in Purbalingga. Still on his childhood, he got adopted by his uncle and grew up as a very diligent student. At his young age, he's already prominent at school. He amazed tons of people for his amazing leadership in an organization and also his obedience to religion. A fact that I just figured recently is that Sudirman's first job was actually a teacher and a headmaster. Honestly, I thought he would started as a rookie-soldier and stuffs like that, but turns out he started at the field of education. Even after Japan started to occupy our country, Sudirman was still teaching. Later in 1944, he joined the Defenders of the Homeland, or what's more known as PETA Soldier. From that time, Sudirman's name became quiet famous because he's probably one of the most bravest soldier that Indonesia had. Sudirman was a man that had the nerves to waged a rebellion and managed to escape after being captured by the Japanese army. Sudirman became a witness of Indonesia's struggles and miseries. He was there at Linggardjati Agreement followed by other fights until Dutch launched the second assault on the capital. One of the biggest service that he gave to the country was to lead The March 1st Raid. That really showed the world that Indonesia's people still exist and the army still has power to fight against the invaders. Sadly, Sudirman had to return to His creator a month after Dutch admits officially that Indonesia is an independence country. He passed away at the age of 34 and declared as a National Hero of Indonesia.
A paragraph of biography perhaps couldn't cover all of the honor that we should give to appreciate General Sudirman's services. Even when he was diagnosed with tuberculosis disease, he's spirit couldn't be broken by anything and he gave all his energy to defend his beloved country until he can breath easily while watching Indonesian held the country with their own hands. All of this description were all true and that is the reason why I felt proud that my group is named after The Great General Sudirman. I have no doubt that my group mates also felt that way when the teacher put us together and said, "You guys are group number one. The General Sudirman Group." Honestly, it also motivates us to continue Sudirman's footsteps by giving our best to make Indonesia, our homeland, feel proud. Sudirman has given a hope for us who's scared or feel constrained by a condition. He clearly inspired the young generations to erased the word 'giving up' from the dictionary, and plant the seeds of bravery and wisdom to our hearts. I really hope that through this article, you, all of the readers, will remember more about our heroes and start thinking, "What can I give to this country?" That's all from me. Thank you.
All honor goes to General of the Army Sudirman and all of the heroes up there.
Subscribe to:
Posts (Atom)